Indonesia Dijajah Belanda Bukan 350 Tahun
Melalui
sejumlah fakta dan analisis sejarah, Nina Herlina L. sejarawan dari
Universitas Padjajaran Bandung menjelaskan ketidakbenaran sejarah
tentang penjajahan Belanda di Indonesia.
Ucapan
Bung Karno “Indonesia dijajah selama 350 tahun” menurutnya hanya
dimaksudkan untuk membangkitkan semangat patriotisme di masa perang
kemerdekaan. Lalu kapan tepatnya Belanda mulai menjajah?
***Oleh Nina Herlina L***.
“WIJ
sluiten nu.Vaarwel, tot betere tijden. Leve de Koningin!” (Kami akhiri
sekarang. Selamat berpisah sampai waktu yang lebih baik. Hidup Sang
Ratu!). Demikian NIROM
(Nederlandsch Indische Radio Omroep Maatschappij/Maskapai Radio Siaran
Hindia Belanda) mengakhiri siarannya pada tanggal 8 Maret 1942.
Enam
puluh enam tahun yang lalu, tepatnya 8 Maret 1942, penjajahan Belanda
di Indonesia berakhir sudah. Rupanya “waktu yang lebih baik” dalam
siaran terakhir NIROM itu tidak pernah ada karena
sejak
8 Maret 1942 Indonesia diduduki Pemerintahan Militer Jepang hingga
tahun 1945. Indonesia menjadi negara merdeka pada tanggal 17 Agustus
1945.
Masyarakat awam selalu mengatakan bahwa kita dijajah Belanda selama 350 tahun. Benarkah demikian?
Untuk ke sekian kalinya, harus ditegaskan bahwa ?
Tidak benar kita dijajah Belanda selama 350 tahun?.
Masyarakat
memang tidak bisa disalahkan karena anggapan itu sudah tertulis dalam
buku-buku pelajaran sejarah sejak Indonesia merdeka! Tidak bisa
disalahkan juga ketika Bung Karno mengatakan, ?Indonesia dijajah selama
350 tahun!?
Sebab,
ucapan ini hanya untuk membangkitkan semangat patriotisme dan
nasionalisme rakyat Indonesia saat perang kemerdekaan (1946-1949)
menghadapi Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.
Bung
Karno menyatakan hal ini agaknya juga untuk meng-counter ucapan para
penguasa Hindia Belanda. De Jong, misalnya, dengan arogan berkata,
?Belanda sudah berkuasa 300 tahun dan masih akan berkuasa 300 tahun
lagi!?
Lalu
Colijn yang dengan pongah berkoar, “Belanda tak akan tergoyahkan karena
Belanda ini sekuat (Gunung) Mount Blanc di Alpen.”Tulisan ini akan
menjelaskan bahwa anggapan yang sudah menjadi mitos itu, tidak benar.
Mari kita lihat sejak kapan kita (Indonesia) dijajah dan kapan pula
penjajahan itu berakhir.
Kedatangan Penjajah
Pada
1511, Portugis berhasil menguasai Malaka, sebuah emporium yang
menghubungkan perdagangan dari India dan Cina. Dengan menguasai Malaka,
Portugis berhasil mengendalikan perdagangan rempah-rempah seperti lada,
cengkeh, pala, dan fuli dari Sumatra dan Maluku.
Pada
1512, D`Albuquerque mengirim sebuah armada ke tempat asal rempah-rempah
di Maluku. Dalam perjalanan itu mereka singgah di Banten, Sundakalapa,
dan Cirebon. Dengan menggunakan nakhoda-nakhoda Jawa, armada itu tiba di
Kepulauan Banda, terus menuju Maluku Utara, akhirnya tiba juga di
Ternate.
Di
Ternate, Portugis mendapat izin untuk membangun sebuah benteng.
Portugis memantapkan kedudukannya di Maluku dan sempat meluaskan
pendudukannya ke Timor. Dengan semboyan “gospel, glory, and gold” mereka
juga sempat menyebarkan agama Katolik, terutama di Maluku.
Waktu
itu, Nusantara hanyalah merupakan salah satu mata rantai saja dalam
dunia perdagangan milik Portugis yang menguasai separuh dunia ini
(separuh lagi milik Spanyol) sejak dunia ini dibagi dua dalam Perjanjian
Tordesillas tahun 1493.
Portugis
menguasai wilayah yang bukan Kristen dari 100 mil di sebelah barat
Semenanjung Verde, terus ke timur melalui Goa di India, hingga kepulauan
rempah-rempah Maluku. Sisanya (kecuali Eropa) dikuasai Spanyol.
Sejak
dasawarsa terakhir abad ke-16, para pelaut Belanda berhasil menemukan
jalan dagang ke Asia yang dirahasiakan Portugis sejak awal abad ke-16.
Pada 1595, sebuah perusahaan dagang Belanda yang bernama Compagnie van
Verre membiayai sebuah ekspedisi dagang ke Nusantara.
Ekpedisi
yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman ini membawa empat buah kapal.
Setelah menempuh perjalanan selama empat belas bulan, pada 22 Juni 1596,
mereka berhasil mendarat di Pelabuhan Banten. Inilah titik awal
kedatangan Belanda di Nusantara.
Kunjungan
pertama tidak berhasil karena sikap arogan Cornelis de Houtman. Pada 1
Mei 1598, Perseroan Amsterdam mengirim kembali rombongan perdagangannya
ke Nusantara di bawah pimpinan Jacob van Neck, van Heemskerck, dan van
Waerwijck.
Dengan
belajar dari kesalahan Cornelis de Houtman, mereka berhasil mengambil
simpati penguasa Banten sehingga para pedagang Belanda ini diperbolehkan
berdagang di Pelabuhan Banten. Ketiga kapal kembali ke negerinya dengan
muatan penuh. Sementara itu, kapal lainnya meneruskan perjalanannya
sampai ke Maluku untuk mencari cengkih dan pala.
Dengan
semakin ramainya perdagangan di perairan Nusantara, persaingan dan
konflik pun meningkat. Baik di antara sesama pedagang Belanda maupun
dengan pedagang asing lainnya seperti Portugis dan Inggris.
Untuk
mengatasi persaingan yang tidak sehat ini, pada 1602 di Amsterdam
dibentuklah suatu wadah yang merupakan perserikatan dari berbagai
perusahaan dagang yang tersebar di enam kota di Belanda. Wadah itu
diberi nama “Verenigde Oost-Indische Compagnie” (Serikat Perusahaan
Hindia Timur) disingkat VOC.
Pemerintah
Kerajaan Belanda (dalam hal ini Staaten General), memberi “izin dagang”
(octrooi) pada VOC. VOC boleh menjalankan perang dan diplomasi di Asia,
bahkan merebut wilayah-wilayah yang dianggap strategis bagi
perdagangannya.
VOC
juga boleh memiliki angkatan perang sendiri dan mata uang sendiri.
Dikatakan juga bahwa octrooi itu selalu bisa diperpanjang setiap 21
tahun. Sejak itu hanya armada-armada dagang VOC yang boleh berdagang di
Asia (monopoli perdagangan).
Dengan
kekuasaan yang besar ini, VOC akhirnya menjadi “negara dalam Negara”
dan dengan itu pula mulai dari masa Jan Pieterszoon Coen (1619-1623,
1627-1629) sampai masa Cornelis Speelman (1681-1684) menjadi Gubernur
Jenderal VOC, kota-kota dagang di Nusantara yang menjadi pusat
perdagangan rempah-rempah berhasil dikuasai VOC.
Batavia
(sekarang Jakarta) menjadi pusat kedudukan VOC sejak 1619, Ambon
dikuasai tahun 1630. Beberapa kota pelabuhan di Pulau Jawa baru
diserahkan Mataram kepada VOC antara tahun 1677-1705. Sementara di
daerah pedalaman, raja-raja dan para bupati masih tetap berkuasa penuh.
Peranan mereka hanya sebatas menjadi “tusschen personen” (perantara) penguasa VOC dan rakyat.
“Power
tends to Corrupt.” Demikian kata Lord Acton, sejarawan Inggris
terkemuka. VOC memiliki kekuasaan yang besar dan lama, VOC pun mengalami
apa yang dikatakan Lord Acton. Pada 1799, secara resmi VOC dibubarkan
akibat korupsi yang parah mulai dari “cacing cau” hingga Gubernur
Jenderalnya.
Pemerintah
Belanda lalu menyita semua aset VOC untuk membayar utang-utangnya,
termasuk wilayah-wilayah yang dikuasainya di Indonesia, seperti
kota-kota pelabuhan penting dan pantai utara Pulau Jawa.
Selama
satu abad kemudian, Hindia Belanda berusaha melakukan konsolidasi
kekuasaannya mulai dari Sabang-Merauke. Namun, tentu saja tidak mudah.
Berbagai
perang melawan kolonialisme muncul seperti Perang Padri (1821-1837),
Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1907), Perang di Jambi
(1833-1907), Perang di Lampung (1834-1856), Perang di Lombok
(1843-1894), Perang Puputan di Bali (1846-1908), Perang di Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah (1852-1908), Perlawanan di Sumatra Utara
(1872-1904), Perang di Tanah Batak (1878-1907), dan Perang Aceh
(1873-1912).
Peperangan
di seluruh Nusantara itu baru berakhir dengan berakhirnya Perang Aceh.
Jadi baru setelah tahun 1912, Belanda benar-benar menjajah seluruh
wilayah yang kemudian menjadi wilayah Republik Indonesia (kecuali Timor
Timur).
Jangan
lupa pula bahwa antara 1811-1816, Pemerintah Hindia Belanda sempat
diselingi oleh pemerintahan interregnum (pengantara) Inggris di bawah
Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles.
Saat-saat Akhir
Pada
7 Desember 1941, Angkatan Udara Jepang di bawah pimpinan Laksamana
Nagano melancarkan serangan mendadak ke pangkalan angkatan laut AS di
Pearl Harbour, Hawaii. Akibat serangan itu kekuatan angkatan laut AS di
Timur Jauh lumpuh. AS pun menyatakan perang terhadap Jepang.
Demikian
pula Belanda sebagai salah satu sekutu AS menyatakan perang terhadap
Jepang.Pada 18 Desember 1941, pukul 06.30, Gubernur Jenderal Hindia
Belanda Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer melalui radio
menyatakan perang terhadap Jepang.
Pernyataan
perang tersebut kemudian direspons oleh Jepang dengan menyatakan perang
juga terhadap Pemerintah Hindia Belanda pada 1 Januari 1942. Setelah
armada Sekutu dapat dihancurkan dalam pertempuran di Laut Jawa maka
dengan mudah pasukan Jepang mendarat di beberapa tempat di pantai utara
Pulau Jawa.Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memusatkan pertahanannya
di sekitar pegunungan Bandung.
Pada
waktu itu kekuatan militer Hindia Belanda di Jawa berjumlah empat
Divisi atau sekitar 40.000 prajurit termasuk pasukan Inggris, AS, dan
Australia. Pasukan itu di bawah komando pasukan sekutu yang markas
besarnya di Lembang dan Panglimanya ialah Letjen H. Ter Poorten dari
Tentara Hindia Belanda (KNIL).
Selanjutnya
kedudukan Pemerintah Kolonial Belanda dipindahkan dari Batavia
(Jakarta) ke Kota Bandung.Pasukan Jepang yang mendarat di Eretan Wetan
adalah Detasemen Syoji.
Pada
saat itu satu detasemen pimpinannya berkekuatan 5.000 prajurit yang
khusus ditugasi untuk merebut Kota Bandung. Satu batalion bergerak ke
arah selatan melalui Anjatan, satu batalion ke arah barat melalui
Pamanukan, dan sebagian pasukan melalui Sungai Cipunagara.
Batalion Wakamatsu dapat merebut lapangan terbang Kalijati tanpa
perlawanan berarti dari Angkatan Udara Inggris yang menjaga lapangan
terbang itu.
Pada
5 Maret 1942, seluruh detasemen tentara Jepang yang ada di Kalijati
disiapkan untuk menggempur pertahanan Belanda di Ciater dan selanjutnya
menyerbu Bandung.
Akibat
serbuan itu tentara Belanda dari Ciater mundur ke Lembang yang
dijadikan benteng terakhir pertahanan Belanda.Pada 6 Maret 1942,
Panglima Angkatan Darat Belanda Letnan Jenderal Ter Poorten
memerintahkan Komandan Pertahanan Bandung Mayor Jenderal J. J. Pesman
agar tidak mengadakan pertempuran di Bandung dan menyarankan mengadakan
perundingan mengenai penyerahan pasukan yang berada di garis
Utara-Selatan yang melalui Purwakarta dan Sumedang.
Menurut
Jenderal Ter Poorten, Bandung pada saat itu padat oleh penduduk sipil,
wanita, dan anak-anak, dan apabila terjadi pertempuran maka banyak dari
mereka yang akan jadi korban.
Pada
7 Maret 1942 sore hari, Lembang jatuh ke tangan tentara Jepang. Mayjen
J. J. Pesman mengirim utusan ke Lembang untuk merundingkan masalah itu.
Kolonel Syoji menjawab bahwa untuk perundingan itu harus dilakukan di
Gedung Isola (sekarang gedung Rektorat UPI Bandung).
Sementara
itu, Jenderal Imamura yang telah dihubungi Kolonel Syoji segera
memerintahkan kepada bawahannya agar mengadakan kontak dengan Gubernur
Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer untuk mengadakan perundingan
di Subang pada 8 Maret 1942 pagi.
Akan
tetapi, Letnan Jenderal Ter Poorten meminta Gubernur Jenderal agar usul
itu ditolak.Jenderal Imamura mengeluarkan peringatan bahwa “Bila pada 8
Maret 1942 pukul 10.00 pagi para pembesar Belanda belum juga berangkat
ke Kalijati maka Bandung akan dibom sampai hancur.”
Sebagai
bukti bahwa ancaman itu bukan sekadar gertakan, di atas Kota Bandung
tampak pesawat-pesawat pembom Jepang dalam jumlah besar siap untuk
melaksanakan tugasnya.
Melihat
kenyataan itu, Letnan Jenderal Ter Poorten dan Gubernur Jenderal Tjarda
beserta para pembesar tentara Belanda lainnya berangkat ke Kalijati
sesuai dengan tanggal dan waktu yang telah ditentukan.
Pada
mulanya Jenderal Ter Poorten hanya bersedia menyampaikan kapitulasi
Bandung. Namun, karena Jenderal Imamura menolak usulan itu dan akan
melaksanakan ultimatumnya. Akhirnya, Letnan Jenderal Ter Poorten dan
Gubernur Jenderal Tjarda menyerahkan seluruh wilayah Hindia Belanda
kepada Jepang tanpa syarat.
Keesokan
harinya, 9 Maret 1942 pukul 08.00 dalam siaran radio Bandung, terdengar
perintah Jenderal Ter Poorten kepada seluruh pasukannya untuk
menghentikan segala peperangan dan melakukan kapitulasi tanpa
syarat.Itulah akhir kisah penjajahan Belanda.
Setelah
itu Jepang pun menduduki Indonesia hingga akhirnya merdeka 17 Agustus
1945. Jepang hanya berkuasa tiga tahun lima bulan delapan hari.
Analisis Berdasarkan uraian di atas,
Kita
bisa menghitung berapa lama sesungguhnya Indonesia dijajah Belanda.
Kalau dihitung dari 1596 sampai 1942, jumlahnya 346 tahun.
Namun, tahun 1596 itu Belanda baru datang sebagai pedagang. Itu pun gagal mendapat izin dagang. Tahun 1613-1645, Sultan Agung
dari Mataram, adalah raja besar yang menguasai seluruh Jawa, kecuali
Banten, Batavia, dan Blambangan. Jadi, tidak bisa dikatakan Belanda
sudah menjajah Pulau Jawa (yang menjadi bagian Indonesia kemudian).
Selama
seratus tahun dari mulai terbentuknya Hindia Belanda pascakeruntuhan
VOC (dengan dipotong masa penjajahan Inggris selama 5 tahun), Belanda
harus berusaha keras menaklukkan berbagai wilayah di Nusantara hingga
terciptanya Pax Neerlandica.
Namun,
demikian hingga akhir abad ke-19, beberapa kerajaan di Bali, dan awal
abad ke-20, beberapa kerajaan di Nusa Tenggara Timur, masih mengadakan
perjanjian sebagai negara bebas (secara hukum internasional) dengan
Belanda.
Jangan
pula dilupakan hingga sekarang Aceh menolak disamakan dengan Jawa
karena hingga 1912 Aceh adalah kerajaan yang masih berdaulat. Orang Aceh
hanya mau mengakui mereka dijajah 33 tahun saja.
Kesimpulannya, tidak benar kita dijajah Belanda selama 350 tahun. Yang benar adalah, Belanda memerlukan waktu 300 tahun untuk menguasai seluruh Nusantara.
Sumber :
Dikutip
secara lengkap dari harian Pikiran Rakyat, 8 Maret 2008.Nina Herlina L.
adalah Guru Besar Ilmu Sejarah Unpad/Ketua Masyarakat Sejarawan
Indonesia Cabang Jawa Barat/Ketua Pusat Kebudayaan Sunda Fakultas Sastra
Unpad.
Read more: http://www.bettinglist.blogspot.com/2012/10/10-dewa-judi-terhebat-yang-tercatat.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar